Monolith dan microservices adalah dua pendekatan arsitektur yang berbeda untuk membangun aplikasi. Monolith adalah aplikasi yang terdiri dari satu unit besar yang menjalankan semua fungsi aplikasi, sedangkan microservices adalah aplikasi yang terdiri dari banyak unit kecil yang masing-masing menjalankan satu fungsi aplikasi1.
Ada beberapa keuntungan dan kerugian dari masing-masing pendekatan. Monolith lebih mudah untuk dikembangkan dan diuji, tetapi lebih sulit untuk diperbarui dan diskalakan. Microservices lebih fleksibel dan dapat beradaptasi dengan perubahan kebutuhan bisnis, tetapi lebih kompleks untuk dikelola dan membutuhkan koordinasi yang baik antara unit-unitnya.
Salah satu tantangan terbesar dalam transisi dari monolith ke microservices adalah menentukan bagaimana memecah aplikasi menjadi unit-unit yang tepat. Tidak ada aturan baku yang dapat diterapkan untuk semua kasus, tetapi ada beberapa prinsip dan praktik yang dapat membantu kita membuat keputusan yang cerdas.
Di mana saya harus mulai?
Salah satu cara untuk memulai transisi dari monolith ke microservices adalah dengan mengidentifikasi domain bisnis yang ada dalam aplikasi. Domain bisnis adalah area fungsional yang berhubungan dengan tujuan dan proses bisnis, seperti manajemen pelanggan, penagihan, atau pengiriman. Setiap domain bisnis dapat memiliki subdomain yang lebih spesifik, seperti manajemen pesanan, manajemen produk, atau manajemen inventaris.
Setelah kita mengetahui domain-domain bisnis yang ada dalam aplikasi, kita dapat mencoba mengelompokkan fungsi-fungsi aplikasi yang berhubungan dengan domain-domain tersebut. Fungsi-fungsi aplikasi yang berhubungan dengan domain yang sama dapat menjadi kandidat untuk menjadi microservice. Sebaliknya, fungsi-fungsi aplikasi yang berhubungan dengan domain yang berbeda dapat dipisahkan menjadi microservice yang berbeda.
Tentu saja, tidak semua fungsi aplikasi dapat dipisahkan dengan mudah. Ada beberapa fungsi aplikasi yang bersifat lintas domain, seperti autentikasi, otorisasi, atau logging. Fungsi-fungsi ini dapat menjadi microservice tersendiri, atau dapat menjadi bagian dari microservice lain yang membutuhkannya. Hal ini tergantung pada tingkat ketergantungan dan kohesi yang ada antara fungsi-fungsi tersebut.
Apa yang harus saya pertimbangkan?
Selain mengidentifikasi domain-domain bisnis, ada beberapa hal lain yang harus kita pertimbangkan saat memecah aplikasi menjadi microservice, seperti:
- Komunikasi: Bagaimana microservice akan berkomunikasi satu sama lain? Apa protokol, format, dan pola yang akan digunakan? Bagaimana menangani kesalahan, latency, dan kegagalan komunikasi?
- Data: Bagaimana data akan disimpan, diakses, dan dikonsistensikan di antara microservice? Apa strategi untuk membagi data menjadi skema yang terpisah? Bagaimana menangani transaksi, replikasi, dan migrasi data?
- Pengujian: Bagaimana menguji microservice secara individual dan secara bersamaan? Apa alat, kerangka kerja, dan metodologi yang akan digunakan? Bagaimana menangani dependensi, mocking, dan stubbing?
- Deployment: Bagaimana microservice akan di-deploy, dijalankan, dan dimonitor? Apa platform, infrastruktur, dan alat yang akan digunakan? Bagaimana menangani konfigurasi, orkestrasi, dan otomatisasi?
Semua pertimbangan ini membutuhkan pemikiran dan perencanaan yang matang. Transisi dari monolith ke microservices bukanlah sesuatu yang dapat dilakukan dalam semalam. Ini adalah proses yang berlangsung, yang membutuhkan iterasi, eksperimen, dan evaluasi. Namun, jika dilakukan dengan benar, transisi ini dapat memberikan manfaat yang signifikan bagi aplikasi kita, seperti:
- Scalability: Microservice dapat diskalakan secara horizontal, yaitu dengan menambahkan lebih banyak instance dari microservice yang sama. Ini dapat meningkatkan kinerja dan ketersediaan aplikasi, serta mengurangi biaya infrastruktur.
- Resiliency: Microservice dapat bertahan dari kegagalan, yaitu dengan memiliki mekanisme untuk mendeteksi, mengisolasi, dan memulihkan kegagalan. Ini dapat meningkatkan reliabilitas dan keamanan aplikasi, serta mengurangi dampak negatif bagi pengguna.
- Agility: Microservice dapat dikembangkan, diuji, dan diperbarui secara mandiri, yaitu dengan memiliki tim, proses, dan alat yang terpisah untuk setiap microservice. Ini dapat meningkatkan produktivitas dan kualitas aplikasi, serta mempercepat waktu ke pasar.
Kesimpulan
Dalam artikel ini, saya telah memberikan gambaran singkat tentang transisi dari monolith ke microservices. Saya telah menjelaskan apa itu monolith dan microservices, bagaimana memulai transisi, apa yang harus dipertimbangkan, dan apa manfaatnya. Saya harap artikel ini dapat memberikan Anda wawasan dan inspirasi untuk memulai atau melanjutkan perjalanan Anda menuju microservices. Jika Anda ingin belajar lebih lanjut tentang topik ini, Anda dapat mengunjungi sumber web yang saya gunakan sebagai referensi1. Terima kasih telah membaca artikel ini, dan semoga berhasil! (JB)